Bagi kebanyakan orang, ciuman di depan umum merupakan hal yang tabu, apalagi jika ditonton ratusan bahkan ribuan orang. Namun tidak bagi pemuda dan pemudi di Pulau Dewata, Bali, terutama paska Hari Raya Nyepi. Mereka berciuman untuk melestarikan sebuah tradisi leluhur.
Bali menyebutnya tradisi Omed-omedan yang berarti tarik-menarik. Sebuah tradisi ciuman massal antara pemuda dan pemudi yang sudah ada sejak abad ke-17.
Tradisi ciuman massal ini biasanya diselenggarakan di Desa Sesetan, Denpasar Selatan, Bali.
Para tokoh adat Bali menyebutkan, tradisi unik tersebut berawal dari sebuah kisah di kerajaan kecil di daerah Denpasar Selatan. Ada anak laki-laki dan perempuan tengah bermain dan saling tarik-menarik. Kemudian suara pun semakin gaduh.
Sang Raja yang sedang sakit terpancing amarahnya, ia pun segera keluar untuk menghentikan keributan tersebut. Namun saat keluar dan melihat dua anak tersebut, penyakit sang Raja mendadak hilang dan sembuh total. Sejak itu, sang Raja mengukuhkan ritual omed-omedan atau tarik menarik dilakukan setiap tahunnya saat perayaan Nyepi.
Namun pada 1979, tradisi ciuman muda-mudi massal ini dilakukan sehari pasca perayaan Nyepi, yaitu pada hari Ngembak Geni.
Tradisi ciuman massal ini hanya dikhususkan bagi para pemuda dan pemudi yang belum menikah. Dilakukan dengan cara berciuman antara pemuda dan pemudi. Mereka dipisahkan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan yang berbaris satu bujur ke belakang dengan posisi berhadap-hadapan.
Mereka yang akan melakukan ritual omed-omedan berada paling depan dengan posisi digendong. Kemudian mereka saling mendekat. Begitu saling terjangkau, mereka segera berciuman. Ciuman akan berhenti setelah tetua adat membunyikan peluit ataupun menyiramkan air.
Sebelum melakukan atraksi ciuman massal, mereka yang hadir baik peserta, tetua adat hingga yang menonton akan melakukan ritual berdoa.
Tradisi omed-omedan ini konon pernah dihentikan karena tidak sesuai dengan adat ketimuran. Tradisi ini juga pernah digantikan dengan tradisi perkelahian dua babi. Namun kemudian muncul anggapan-anggapan bahwa jika tradisi omed-omedan tidak dilakukan atau tidak diteruskan, maka ditakutkan akan terjadi hal-hal buruk yang menimpa warga. Dan sejak itu, tradisi omed-omedan kembali digelar disetiap tahunnya, tepatnya sehari setelah perayaan Nyepi.
Meski menuai banyak kontroversi, tradisi ini sukses menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Untuk menjaga agar atraksi ciuman massal ini berlangsung tertib, para tetua-tetua adat akan bertindak sebagai wasit. Saat suasana kian riuh, para tetua adat akan menyiramkan air kepada pemuda dan pemudi hingga ke arah penonton.(GWH)
Bali menyebutnya tradisi Omed-omedan yang berarti tarik-menarik. Sebuah tradisi ciuman massal antara pemuda dan pemudi yang sudah ada sejak abad ke-17.
Tradisi ciuman massal ini biasanya diselenggarakan di Desa Sesetan, Denpasar Selatan, Bali.
Para tokoh adat Bali menyebutkan, tradisi unik tersebut berawal dari sebuah kisah di kerajaan kecil di daerah Denpasar Selatan. Ada anak laki-laki dan perempuan tengah bermain dan saling tarik-menarik. Kemudian suara pun semakin gaduh.
Sang Raja yang sedang sakit terpancing amarahnya, ia pun segera keluar untuk menghentikan keributan tersebut. Namun saat keluar dan melihat dua anak tersebut, penyakit sang Raja mendadak hilang dan sembuh total. Sejak itu, sang Raja mengukuhkan ritual omed-omedan atau tarik menarik dilakukan setiap tahunnya saat perayaan Nyepi.
Namun pada 1979, tradisi ciuman muda-mudi massal ini dilakukan sehari pasca perayaan Nyepi, yaitu pada hari Ngembak Geni.
Tradisi ciuman massal ini hanya dikhususkan bagi para pemuda dan pemudi yang belum menikah. Dilakukan dengan cara berciuman antara pemuda dan pemudi. Mereka dipisahkan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan yang berbaris satu bujur ke belakang dengan posisi berhadap-hadapan.
Mereka yang akan melakukan ritual omed-omedan berada paling depan dengan posisi digendong. Kemudian mereka saling mendekat. Begitu saling terjangkau, mereka segera berciuman. Ciuman akan berhenti setelah tetua adat membunyikan peluit ataupun menyiramkan air.
Sebelum melakukan atraksi ciuman massal, mereka yang hadir baik peserta, tetua adat hingga yang menonton akan melakukan ritual berdoa.
Tradisi omed-omedan ini konon pernah dihentikan karena tidak sesuai dengan adat ketimuran. Tradisi ini juga pernah digantikan dengan tradisi perkelahian dua babi. Namun kemudian muncul anggapan-anggapan bahwa jika tradisi omed-omedan tidak dilakukan atau tidak diteruskan, maka ditakutkan akan terjadi hal-hal buruk yang menimpa warga. Dan sejak itu, tradisi omed-omedan kembali digelar disetiap tahunnya, tepatnya sehari setelah perayaan Nyepi.
Meski menuai banyak kontroversi, tradisi ini sukses menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Untuk menjaga agar atraksi ciuman massal ini berlangsung tertib, para tetua-tetua adat akan bertindak sebagai wasit. Saat suasana kian riuh, para tetua adat akan menyiramkan air kepada pemuda dan pemudi hingga ke arah penonton.(GWH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar