Sebuah barak militer di tengah perbukitan dengan pola bangunan yang lurus memanjang dari utara ke selatan. Di atas lahan seluas 300 x 800 meter persegi, petak-petak terbagi rapi dalam ukuran yang hampir sama. Isi bangunan pun sejatinya telah diseragamkan untuk memenuhi fungsi ritual dan sosial.
Di situ harus ada Bale Buga sebagai tempat upacara memuja Tuhan dan leluhur serta menyimpan benda keramat dan alat sakral. Bale Tengah untuk upacara perkawinan, kelahiran, dan kematian. Bale Meten sebagai tempat tidur dan menyimpan harta benda. Dua sanggah (tempat pemujaan) di utara dan selatan, paon (dapur), natah (halaman depan), dan teben (halaman belakang).
Permukiman desa yang linear itu terbagi dalam tiga banjar (dusun). Yakni Banjar Kauh di sebelah barat serta Banjar Tengah dan Banjar Pande di sebelah timur. Masing-masing bangunan dipisahkan oleh awangan atau jalan utama dan dua rurung (gang). “Pola bangunan ini karena kami adalah keturunan prajurit,” kata sesepuh desa, I Mangku Widia, 63 tahun. Selain wilayah permukiman, Desa Adat ini memiliki hutan dan wilayah pertanian sehingga luas totalnya mencapai 917,2 hektare. Kini warga Desa Adat ini terdiri dari 200 kepala keluarga dengan 600 jiwa.
Mitologi yang termuat dalam lontar yang ditulis ulang pada 1842 menyebut leluhur Tenganan berasal dari masa Kerajaan Bedahulu di Gianyar. Setelah kemenangan Dewa Indra atas raja raksasa Maya Denawa, maka Dewa bermaksud membuat persembahan dengan menyembelih seekor kuda bernama Onceswara. Namun kuda itu kemudian melarikan diri karena menolak untuk dikorbankan.
Dewa Indra kemudian memerintahkan sekelompok pasukan untuk mencarinya hingga ke Karangasem. Sayangnya, pasukan Peneges ini hanya berhasil menemukannya dalam keadaan sudah menjadi bangkai. Dewa kemudian memberi hadiah berupa lahan dengan batasan seluas bau bangkai itu masih tercium. Dengan cerdik, para anggota pasukan kemudian memotong bangkai dan berlari ke segala arah untuk memperluas wilayah yang bisa dibaui sampai akhirnya mereka diberi peringatan. Jadilah kini wilayah yang secara administratif masuk Kecamatan Manggis, Karangasem, dan berjarak sekitar 70 kilometer dari Denpasar itu menjadi Desa Tenganan.
Kelestarian desa ini terjaga dengan sendirinya karena sejumlah aturan adat. Misalnya aturan perkawinan indogami, yang mengarahkan pencarian pasangan hanya dengan sesama warga desa. "Kalau dengan orang luar, harus keluar dari permukiman," kata I Putu Wiadnyana, aktivis pemuda di desa itu. Mereka yang menikah sesuai adat akan mendapatkan tanah seluas 250 meter kubik serta dibantu untuk mendirikan rumah tradisional.
Untuk pengaturan desa, jabatan dibagi berdasarkan senioritas. Di tingkat pertama, enam pasangan luanan (penasihat). Tingkat kedua adalah bahan roras sebagai pengambil keputusan desa dan pelaksanannya. Kemudian ada juga kelompok tambalampu roras sebagai kelompok yang bertugas menyampaikan informasi. Para pejabat itu mendapat gaji berupa uang yang dibayarkan pada setiap musim panen. Tugas utama mereka adalah menjaga agar aneka upacara serta berbagai tradisi tetap dipertahankan.
Dari sisi kepercayaan, orang Tenganan sedikit memiliki perbedaan dengan agama Hindu pada umumnya di Bali. Mereka adalah pemuja Dewa Indra, dengan upacara yang khas seperti Mekare Kare atau Geret Pandan (perang pandan).
Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) adalah bagian dari upacara Sasih Sembah yang menjadi ritual terbesar di Desa Tenganan. Para pria tanpa pakaian atas bertarung satu lawan satu berbekal pandan berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Pada acara yang dilangsungkan di jalan utama itu, mereka menari-nari, bergulat, dan mengiris punggung lawan dengan duri pandan. Pertarungan itu wajib diikuti oleh semua pria dewasa.
“Kami juga merayakan Galungan, tapi sangat sederhana dan tidak memasang penjor,” kata Mangku Widia. Tenganan juga tak mengenal perbedaaan status berdasarkan kasta dan menempatkan pria dan wanita pada posisi yang setara, termasuk dalam soal warisan.
Penghasilan sebagian besar warga adalah dari bertani. Namun mereka pada dasarnya adalah pemilik tanah yang tidak menggarap lahannya sendiri. “Kini sudah ada yang jadi pengacara, guru, PNS, dan berbagai profesi lainnya,” kata Widiadnyana, yang lulus dari jurusan arsitektur UGM, Yogyakarta, dan kini menjadi arsitek independen.
Pariwisata massal menjadi tantangan utama bagi Tenganan. Sejak tahun 70-an, banyak rumah yang berubah fungsinya menjadi art shop. Awalnya hanya untuk menjual kain tenun Pegeringsingan yang diproduksi oleh warga Desa. Namun kemudian benar-benar menjadi etalase untuk barang-barang kerajinan. Bahkan pintu rumah pun dihiasi dengan aneka barang dagangan itu. Hanya, pada saat upacara adat, rumah itu difungsikan ke bentuk semula.
Atap rumah yang dulunya dibuat dari pohon kelapa dan alang-alang kini mulai tergantikan dengan genting. Masalahnya, bahan tradisional menjadi terlalu mahal dan kurang awet. Sementara itu lantai rumah pun diubah dari batu-batu, yang disusun dengan pola tertentu, menjadi lantai keramik biasa.
Atas perubahan itu, Mangku Widia mengaku, dalam mewariskan pengetahuan antargenerasi, memang ada yang terputus. Apalagi tidak ada kesepakatan-kesepakatan yang dituliskan. Akibatnya, kepentingan pelestarian adat dan tradisi kurang dihayati. "Sekarang kami berusaha melakukan perubahan,” katanya.
Untuk mengatasi pariwisata massal, misalnya, mereka bergabung dengan Yayasan Wisnu untuk membangun jaringan ekowisata desa (JED). Jaringan ini selain memasarkan Tenganan sebagai obyek wisata, juga menggali potensi tradisi dan ekowisata agar turis yang datang adalah mereka yang menghargai aspek budaya Tenganan. Di situ mereka merasa menjadi subyek perubahan dan bukan sekadar obyek tontonan.
Dengan segala perubahannya, banyak warga yang tetap merasa nyaman menjadi warga Tenganan. “Di sini saya menemukan segalanya,” kata Wayan Arsana, 41 tahun. Seniman yang sudah sempat tinggal di Amerika Serikat ini merasa kebersamaan dan komunalitas Tenganan tak bisa ditemukan di daerah lain. Suasana itu memberinya perasaan damai yang tak tergantikan. “Kini, sebagai pengurus adat, saya sudah seperti kerbau yang terikat tali. Tapi saya jalani dengan senang hati,” ujarnya, yang kini menjadi desainer barang-barang kerajinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar