Senin, 08 Desember 2014

Upacara Ngaben Adat Istiadat Bali

Bali merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki penduduk terbanyak pemeluk agama hindu, degan kepemelukan agama hindu ini penduduk bali memiliki kpercayaan layaknya pemeluk hindu pada umumnya yang memilki kepercayaan terhadap roh. Menurut masyaratakat ini setelah sesorang meninggal, rohnya tetap hidup untuk itu mereka mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
    Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu. 
       Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang beristana di Tunon ini. 
      Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat prefiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”. 
      Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun. Tetapi sebenarnya dengan mengambil jenis ngaben sederhana yang telah ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting tujuan utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem (dikubur) di setra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini. Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar yaitu : Ngaben berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak bisa ngaben, lantaran biaya yang terbatas. Akibatnya leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.   
      Dari beberapa penelusuran terhadap berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut Jenis – jenis Ngaben Sederhana 

Mendhem Sawa 
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga). 

Ngaben Mitra Yajna 
Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
Pranawa Pranawa 
Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan. 

Pranawa Bhuanakosa 
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa. 

Swasta  
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem. 
Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara adat ngaben ini sebagai berikut : 
  1. Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat. 
  2. Nyiramin/Ngemandusin, Merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat). 
  3. Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya. 
  4. Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia. 
  5. Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan. 
  6. Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus. 
  7. Pakiriman Ngutang, Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini. 
  8. Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya. 
  9. Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai. 
  10. Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan Demikian informasi tentang Upacara Adat Ngaben dari Pulau Dewata bali, mari kita kenali dan lestarikan budaya bangsa kita sebagai wujud cinta tanah air. Semoga bermanfaat.

Minggu, 07 Desember 2014

Mekotek Adat Istiadat Bali

Setelah sekian lama meninggalkan dan menelantarkan rumahku ini,akhirnya aku kembali juga.Kali ini aku ingin berbagi cerita yang aku dapat daritemanku.Ini mungkin agak telat sih,tapi tidak mengurangi makna dari apa yang ingin aku tulis disini.Cerita ini aku dapat dari teman ketika aku berkunjung ke rumahnya waktu manis kuningan. Oya, Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan ya buat para pembaca yang merayakan.Ga papakan telat daripada ga sama sekali.hehehe.. Sekalian juga selamat menunaikan ibadah puasa buat yang merayakan.Lanjut…Ini tentang tradisi di desanya yang masih lestari sampai sekarang. Ceritanya begini…(wuih..adi serius sajan nok)
Selain pemandangan alamnya yang sangat mempesona,terbukti dikenal sampai ke seantero dunia,Bali masih menyimpan kekayaan tradisi dan budaya dari nenek moyang kita yang masih lestari sampai sekarang.Salah satunya seperti Gerebek Mekotek atau sering disebut Mekotek di Desa Munggu, Kabupaten Badung yang masih tetap lestari sampai sekarang yang dirayakan khusus di hari raya kuningan.(namanya lucu ya…!!??). Prosesi gerebek mekotek ini diikuti oleh 12 banjar setempat di desa Munggu.
Gerebek Mekotek adalah ritual yang memakai sarana kayu biasanya yang paling banyak dipakai dari jenis pulet yang dimainkan secara bersama-sama untuk merayakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Ritual mekotek biasanya dilaksanakan di halaman Pura Desa oleh remaja pria atau para bapak-bapak,Masyarakat yang didominasi oleh pria tua dan muda mengenakan pakaian adat ringan semua membawa sebilah tongkat kayu berukuran kurang lebih tiga sampai empat meter beriringan berjalan menuju pura desa.Mendekati areal pura desa mereka saling menyatukan tongkat yang mereka genggam dengan cara memukul-mukulkan tongkatnya hingga menyerupai bangunan segi tiga yang menjulang ke langit.Penyatuan ini menimbulkan suara yang sangat gaduh yang membuat para peserta semakin bersemangat. Kemudian sambil beramai-ramai tongkat yang sudah menyatu itupun mereka bawa berputar-putar hingga akhirnya kembali berpisah.Tak jarang saat tongkat berpencar,beberapa warga terkena tongkat tersebut. tapi tidak lantas membuat mereka kesal ataupun marah, malahan mereka bangkit kembali dengan perasaan dan senyum puas.

Para peserta yang kena pukulan tongkat harus merelakan dirinya untuk naik ke kumpulan tongkat dari para peserta yang lain.Karena ritual ini sudah sering dilaksanakan dan sudah terbiasa maka meskipun terkena pukulan tongkat ataupun terjatuh dari ujung kumpulan tongkat peserta yang ikut tidak boleh ada yang marah.
Menurut penuturan dari temanku yang juga sesekali ditambahkan oleh bapaknya, ritual yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender bali ini sudah ada sejak tahun 1934. Namun baru mulai dilestarikan sejak tahun 1946 setelah warga Munggu terbebas dari gerubug atau wabah penyakit. Konon katanya, saking gembiranya warga terbebas dari penyakit, saat itu mereka mengacung-acungkan tombak yang mereka miliki.Tombak di mata penjajah Belanda waktu itu disimbolkan sebagai perlawanan.Namun seiring perkembangan jaman dan waktu sarana tombak itu sekarang diganti dengan sebilah kayu.(mungkin karena tombak susah dicari kali ya..?)
Masih menurut penuturan temanku peringatan Ritual Mekotek harus dilaksanakan bertepatan dengan hari raya kuningan, karena itu merupakan pawisik yang didapat oleh Raja Mengwi Cokorda Made Munggu,dan katanya ada pantangan, kalo ritual ini tidak dilaksanakan tidak menutup kemungkinan Munggu akan terkena gerubug lagi,sehingga ritual itu masih tetap dilaksanakan hingga sekarang. (ihh ngeri ya…kalo ga di lestarikan). Makanya,mari kita lestarikan warisan budaya dan tradisi kuno nenek moyang kita.Melestarikan warisan nenek moyang bukan berarti menjual kan…!!!!

Geret Pandan Adat Istiadat Bali


Sebuah barak militer di tengah perbukitan dengan pola bangunan yang lurus memanjang dari utara ke selatan. Di atas lahan seluas 300 x 800 meter persegi, petak-petak terbagi rapi dalam ukuran yang hampir sama. Isi bangunan pun sejatinya telah diseragamkan untuk memenuhi fungsi ritual dan sosial.

Di situ harus ada Bale Buga sebagai tempat upacara memuja Tuhan dan leluhur serta menyimpan benda keramat dan alat sakral. Bale Tengah untuk upacara perkawinan, kelahiran, dan kematian. Bale Meten sebagai tempat tidur dan menyimpan harta benda. Dua sanggah (tempat pemujaan) di utara dan selatan, paon (dapur), natah (halaman depan), dan teben (halaman belakang).

Permukiman desa yang linear itu terbagi dalam tiga banjar (dusun). Yakni Banjar Kauh di sebelah barat serta Banjar Tengah dan Banjar Pande di sebelah timur. Masing-masing bangunan dipisahkan oleh awangan atau jalan utama dan dua rurung (gang). “Pola bangunan ini karena kami adalah keturunan prajurit,” kata sesepuh desa, I Mangku Widia, 63 tahun. Selain wilayah permukiman, Desa Adat ini memiliki hutan dan wilayah pertanian sehingga luas totalnya mencapai 917,2 hektare. Kini warga Desa Adat ini terdiri dari 200 kepala keluarga dengan 600 jiwa. 

Mitologi yang termuat dalam lontar yang ditulis ulang pada 1842 menyebut leluhur Tenganan berasal dari masa Kerajaan Bedahulu di Gianyar. Setelah kemenangan Dewa Indra atas raja raksasa Maya Denawa, maka Dewa bermaksud membuat persembahan dengan menyembelih seekor kuda bernama Onceswara. Namun kuda itu kemudian melarikan diri karena menolak untuk dikorbankan.

Dewa Indra kemudian memerintahkan sekelompok pasukan untuk mencarinya hingga ke Karangasem. Sayangnya, pasukan Peneges ini hanya berhasil menemukannya dalam keadaan sudah menjadi bangkai. Dewa kemudian memberi hadiah berupa lahan dengan batasan seluas bau bangkai itu masih tercium. Dengan cerdik, para anggota pasukan kemudian memotong bangkai dan berlari ke segala arah untuk memperluas wilayah yang bisa dibaui sampai akhirnya mereka diberi peringatan. Jadilah kini wilayah yang secara administratif masuk Kecamatan Manggis, Karangasem, dan berjarak sekitar 70 kilometer dari Denpasar itu menjadi Desa Tenganan. 

Kelestarian desa ini terjaga dengan sendirinya karena sejumlah aturan adat. Misalnya aturan perkawinan indogami, yang mengarahkan pencarian pasangan hanya dengan sesama warga desa. "Kalau dengan orang luar, harus keluar dari permukiman," kata I Putu Wiadnyana, aktivis pemuda di desa itu. Mereka yang menikah sesuai adat akan mendapatkan tanah seluas 250 meter kubik serta dibantu untuk mendirikan rumah tradisional.

Untuk pengaturan desa, jabatan dibagi berdasarkan senioritas. Di tingkat pertama, enam pasangan luanan (penasihat). Tingkat kedua adalah bahan roras sebagai pengambil keputusan desa dan pelaksanannya. Kemudian ada juga kelompok tambalampu roras sebagai kelompok yang bertugas menyampaikan informasi. Para pejabat itu mendapat gaji berupa uang yang dibayarkan pada setiap musim panen. Tugas utama mereka adalah menjaga agar aneka upacara serta berbagai tradisi tetap dipertahankan.

Dari sisi kepercayaan, orang Tenganan sedikit memiliki perbedaan dengan agama Hindu pada umumnya di Bali. Mereka adalah pemuja Dewa Indra, dengan upacara yang khas seperti Mekare Kare atau Geret Pandan (perang pandan).

Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) adalah bagian dari upacara Sasih Sembah yang menjadi ritual terbesar di Desa Tenganan. Para pria tanpa pakaian atas bertarung satu lawan satu berbekal pandan berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Pada acara yang dilangsungkan di jalan utama itu, mereka menari-nari, bergulat, dan mengiris punggung lawan dengan duri pandan. Pertarungan itu wajib diikuti oleh semua pria dewasa.

“Kami juga merayakan Galungan, tapi sangat sederhana dan tidak memasang penjor,” kata Mangku Widia. Tenganan juga tak mengenal perbedaaan status berdasarkan kasta dan menempatkan pria dan wanita pada posisi yang setara, termasuk dalam soal warisan.

Penghasilan sebagian besar warga adalah dari bertani. Namun mereka pada dasarnya adalah pemilik tanah yang tidak menggarap lahannya sendiri. “Kini sudah ada yang jadi pengacara, guru, PNS, dan berbagai profesi lainnya,” kata Widiadnyana, yang lulus dari jurusan arsitektur UGM, Yogyakarta, dan kini menjadi arsitek independen.

Pariwisata massal menjadi tantangan utama bagi Tenganan. Sejak tahun 70-an, banyak rumah yang berubah fungsinya menjadi art shop. Awalnya hanya untuk menjual kain tenun Pegeringsingan yang diproduksi oleh warga Desa. Namun kemudian benar-benar menjadi etalase untuk barang-barang kerajinan. Bahkan pintu rumah pun dihiasi dengan aneka barang dagangan itu. Hanya, pada saat upacara adat, rumah itu difungsikan ke bentuk semula. 

Atap rumah yang dulunya dibuat dari pohon kelapa dan alang-alang kini mulai tergantikan dengan genting. Masalahnya, bahan tradisional menjadi terlalu mahal dan kurang awet. Sementara itu lantai rumah pun diubah dari batu-batu, yang disusun dengan pola tertentu, menjadi lantai keramik biasa.

Atas perubahan itu, Mangku Widia mengaku, dalam mewariskan pengetahuan antargenerasi, memang ada yang terputus. Apalagi tidak ada kesepakatan-kesepakatan yang dituliskan. Akibatnya, kepentingan pelestarian adat dan tradisi kurang dihayati. "Sekarang kami berusaha melakukan perubahan,” katanya.

Untuk mengatasi pariwisata massal, misalnya, mereka bergabung dengan Yayasan Wisnu untuk membangun jaringan ekowisata desa (JED). Jaringan ini selain memasarkan Tenganan sebagai obyek wisata, juga menggali potensi tradisi dan ekowisata agar turis yang datang adalah mereka yang menghargai aspek budaya Tenganan. Di situ mereka merasa menjadi subyek perubahan dan bukan sekadar obyek tontonan.

Dengan segala perubahannya, banyak warga yang tetap merasa nyaman menjadi warga Tenganan. “Di sini saya menemukan segalanya,” kata Wayan Arsana, 41 tahun. Seniman yang sudah sempat tinggal di Amerika Serikat ini merasa kebersamaan dan komunalitas Tenganan tak bisa ditemukan di daerah lain. Suasana itu memberinya perasaan damai yang tak tergantikan. “Kini, sebagai pengurus adat, saya sudah seperti kerbau yang terikat tali. Tapi saya jalani dengan senang hati,” ujarnya, yang kini menjadi desainer barang-barang kerajinan. 

Omed - omedan adat istiadat Bali


Bagi kebanyakan orang, ciuman di depan umum merupakan hal yang tabu, apalagi jika ditonton ratusan bahkan ribuan orang. Namun tidak bagi pemuda dan pemudi di Pulau Dewata, Bali, terutama paska Hari Raya Nyepi. Mereka berciuman untuk melestarikan sebuah tradisi leluhur.

Bali menyebutnya tradisi Omed-omedan yang berarti tarik-menarik. Sebuah tradisi ciuman massal antara pemuda dan pemudi yang sudah ada sejak abad ke-17.

Tradisi ciuman massal ini biasanya diselenggarakan di Desa Sesetan, Denpasar Selatan, Bali.

Para tokoh adat Bali menyebutkan, tradisi unik tersebut berawal dari sebuah kisah di kerajaan kecil di daerah Denpasar Selatan. Ada anak laki-laki dan perempuan tengah bermain dan saling tarik-menarik. Kemudian suara pun semakin gaduh.

Sang Raja yang sedang sakit terpancing amarahnya, ia pun segera keluar untuk menghentikan keributan tersebut. Namun saat keluar dan melihat dua anak tersebut, penyakit sang Raja mendadak hilang dan sembuh total. Sejak itu, sang Raja mengukuhkan ritual omed-omedan atau tarik menarik dilakukan setiap  tahunnya saat perayaan Nyepi.
Namun pada 1979, tradisi ciuman muda-mudi massal ini dilakukan sehari pasca perayaan Nyepi, yaitu pada hari Ngembak Geni.

Tradisi ciuman massal ini hanya dikhususkan bagi para pemuda dan pemudi yang belum menikah. Dilakukan dengan cara berciuman antara pemuda dan pemudi. Mereka dipisahkan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan yang berbaris satu bujur ke belakang dengan posisi berhadap-hadapan.

Mereka yang akan melakukan ritual omed-omedan berada paling depan dengan posisi digendong. Kemudian mereka saling mendekat. Begitu saling terjangkau, mereka  segera berciuman. Ciuman akan berhenti setelah tetua adat membunyikan peluit ataupun menyiramkan air.

Sebelum melakukan atraksi ciuman massal, mereka yang hadir baik peserta, tetua adat hingga yang menonton akan melakukan ritual berdoa.

Tradisi omed-omedan ini konon pernah dihentikan karena tidak sesuai dengan adat ketimuran. Tradisi ini juga pernah digantikan dengan tradisi perkelahian dua babi. Namun kemudian muncul anggapan-anggapan bahwa jika tradisi omed-omedan tidak dilakukan atau tidak diteruskan, maka ditakutkan akan terjadi hal-hal buruk yang menimpa warga. Dan sejak itu, tradisi omed-omedan kembali digelar disetiap tahunnya, tepatnya sehari setelah perayaan Nyepi.

Meski menuai banyak kontroversi, tradisi ini sukses menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Untuk menjaga agar atraksi ciuman massal ini berlangsung tertib, para tetua-tetua adat akan bertindak sebagai wasit. Saat suasana kian riuh, para tetua adat akan menyiramkan air kepada pemuda dan pemudi hingga ke arah penonton.(GWH)

Adat Istiadat Bali

Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna 'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'. Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindu memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
 


Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga, namun terkait satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati atau utpeti-stiti-pralina. Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata angin dan satu di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala terpadu dengan lapis ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah, adalah satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan secara khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).
Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun.